Hikmah Ramadhan Bersama H. Ichwanudin, M.Pd.I “Puasa sebagai Pendidikan Tata Nilai Rabbaniyah”

ikainfoadmin

INDRAMAYU _ ikainfo.com_ Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna (QS. Al Tiin:4). Di samping sebagai makhluk material, manusia juga disebut sebagai makhuk spiritual. Dalam khazanah tasawuf Islam, kedua istilah itu dikenal dengan “Naasut dan Laahut”. Tanah liat adalah bahan dasar penciptaan manusia yang mengindikasikan eksistensinya sebagai makhluk material. Manusia berasal dari tanah, hidup di atas tanah dan akan kembali ke tanah. Inilah fitrah material manusia.
قَالَ رَبُّكَ لِلمَلَٰئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُ بَشَرا مِّن صَلصَٰل مِّن حَمَإ مَّسنُون
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al Hijr: 28)

Tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian orang yang bisa hidup di planet luar tanah (baca: bumi), tetapi tidak akan selamanya akan hidup di sana. Atau memang, di planet lainpun masih terdapat unsur tanah di dalamnya. Sebagaimana umumnya, tanah berposisi rendah atau di bawah. Manusia –dalam hal ini- yang memilih unsur-unsur material sebagai orientasi hidupnya, pada hakikatnya dia sedang menuju kesementaraan dan kerendahan.

Memang, dalam kenyatannya, unsur-unsur material yang sering dikenal juga dengan istilah dunia yang memiliki arti dasar ”rendah, dekat dan sementara” sering merepresentasikan hal-hal yang indah lagi menarik. Walaupun itu sebenarnya adalah fatamorgana.


Di lain sisi, dalam diri manusia terdapat unsur lahut (ketuhanan). Setelah manusia terbentuk fisiknya atau bagian-bagian fisiknya secara sempurna, kemudian Allah tiupkan “ruhnya”.
فَإِذَا سَوَّيتُهُۥ وَنَفَختُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. ( QS. Al-Hijr : 29 )


Sekian pendapat ditemukan dalam menafsirkan ungkapan di atas. Salah satunya Al-Syaukani, yang memberikan makna mengalirkan ruh (kehidupan) ke dalam pori-pori tubuh lain. Ruh merupakan jism lathif yang dengannya manusia hidup.

Ruh adalah bentuk yang sangat halus seperti udara. Adapun penyandaran kata “ruh” dengan kata “Ku” yang berarti Allah adalah dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan. Dua ayat dari surat Al-Hijr di atas berbicara tentang proses awal penciptaan manusia pertama ( Adam ) hingga proses pemberian kehidupan bagi manusia. Ayat pertama berbicara mengenai manusia sebagai mahluk jasmani. Tanah sebagai bahan dasar penciptaan manusia mengindikasikan bahwa manusia adalah mahluk jasmani. Sementara ayat kedua berbicara mengenai proses khidupan manusia. Ruh adalah unsur kehidupan manusia. Jasad yang dimiliki manusia tidak akan mempunyai arti apa-apa bila tidak ada ruh (kehidupan) dalam dirinya. Jadi ayat kedua berbicara tentang kedudukan manusia sebagai mahluk ruhani (spiritual).

Kedua unsur yang membentuk diri manusia tersebut saling berebut pengaruh dan kendali semenjak dimulai kehidupan manusia sampai berakhirnya kehidupan. Jasad adalah wadag sementara ruh adalah isinya. Namun, seperti dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa saat ruh akan dimasukkan ke dalam jasad sebagai wadagnya, terjadi tarik ulur kesepakatan. Menurut jasad, kalau ruh ingin menjadikan dirinya sebagai wadag-nya maka ruh harus menurut apa yang menjadi keinginan jasad. Sementara ruh juga punya tawaran yang sama. Kalau jasad ingin hidup dengan adanya ruh di dalamnya, maka ruh berkeinginan sebagai panglimnya.

Ternyata tarik ulur antara keduanya itu tak pernah terjadi kesepakatan hingga sampai kehidupan ini berakhir. Demikianlah seterusnya, akan terus terjadi tarik ulur bahkan tolak menolak antara dua unsur jasad (naasut) dengan unsur ruhani (laahut). Yang satu menginginkan hal-hal yang suci, luhur dan terhormat. Sementara yang satu lainnya mengantarkan keapda hal-hal yang sementara dan rendah. Apabila dalam diri manusia, unsur ruhani (laahut) memegang kendali, maka dia akan menampilkan manusia ideal yang mulia, bahkan melebihi kemuliaan malaikat. Tapi, saat unsur material (naasut) yang menguasai, maka manusia demikian hanya berfikir tentang pemenuhan kebutuhan material yang sifatnya sementara sehingga berpotensi menjerumuskannya ke posisi terendah.


Puasa membangun tat nilai rabbaniyyah
Kata Rabbaniyyah berasal dari kata dasar “rabb” yang berarti “ Tuhan Yang Maha Mengatur”. Dalam kitab suci al-Qur’an terdapat kata “rabbaniyyun”, “orang-orang yang berketuhan”. Dari situ diambil kata “rabbaniyyah”, “semangat ketuhanan”. Kata ini terulang sebanyak tiga kali.

Salah satunya seperti disebutkan dalam QS Ali Imran ayat 79 berikut:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ
Tidak sepatutnya seseorang diberi Alkitab, hukum, dan kenabian oleh Allah, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” (QS. Ali Imran: 79)


Semangat ketuhanan dilahirkan dari iman. Berdasarkan itu, maka istilah “rabbaniyyah” dapat diartikan sebagai tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Allah dan menuju kepada Allah (Innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’uun). Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kita akan kembali kepada-Nya. Maka Allah adalah “sangkan paran” (asal dan tujuan) hidup (hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi). Seperti terdapat dalam QS. Al Baqoroh: 156:
اَلَّذِيْنَ اِذَا اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ قَالُوْا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS.-al-Baqarah:156).


Dalam madrasah Ramadhan, manusia akan mengikuti tarbiyyah rabbaniyyah, yakni pendidikan yang langsung dari “Rabb” (Tuhan) untuk manusia. Dengan tujuan akhirnya terbangun kesadaran dan semangat ketuhanan dalam dirinya. Kesadaran bahwa Allah Maha Hadir (Omni present), Maha Mengetahui (omni science) dan Maha Kuasa (omni potent). Selama satu bulan, orang yang berpuasa dilatih, diasah dan diasuh agar kesadaran itu terus terbangun. Bagi orang yang berpuasa, kesempatan untuk berbuka (makan dan minum) itu mungkin ada, tetapi dia tidak berani untuk melakukannya sebelum datang waktunya. Semua itu dikarena dia menyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT Maha mengetahui apa yang dilkukan manusia. Sekecil apapun itu.
Lebih jauh, puasa merupakan untuk meneladani sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kapasitasnya sebagai manusia. Hal itu sejalan dengan makna bergama itu sendirim yakni:
تَخَلَّقُوْا بِأَخْلاَقِ اللهِ
“Berakhlak lah dengan akhlak Allah”
Meninggalkan makan dan minum, berjaga (tidak tidur) di malam hari atau siang hari, kebiasaan memberi dan berbagi, mengatur pola hidup yang lebih tertib dan disiplin, menjaga keseimbangan hidup,baik diri,kleuarga maupun masyarakat, termasuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani.

Semua itu adalah upaya untuk menumbuhkan kokohkan tata nilai robbaniyyah dalam diri seorang berpuasa. Selama ini, sebagian orang banyak disibukkan atau lebih banyak memperhatikan unsur-unsur jasmani, sehingga tidak jarang yang mengabaikan sisi spiritualitas dalam dirinya. Puasa satu hulan penuh di bulan Ramdhan akan mengasah kembali spiritualitas manusia yang justru menjadi core (inti) dari dirinya.

Penulis: H. Ichwanudin, M.Pd.I (Ketua MUI Kecamatan Anjatan)

Also Read

Tags

Tinggalkan komentar

Ads - Before Footer